Sabtu, 01 Juni 2013

ADAT PERKAWINAN EMPAT LAWANG


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wujud dari sistem kebudayaan dan unsur yang universal berasal dari kebiasaan atau adat istiadat. Adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat, dan kekuatan yang mengikatnya tergantung pada masyarakat tersebut, adat diperincikan kepada beberapa unsur atau kompleks budaya.[1] Ritual keagamaan dilandasi oleh emosi keagamaan yang terdapat pada jiwa manusia. Dengan emosi keagamaan ini percaya bahwa ada kekuatan adikodrati diatas manusia, rasa percaya tersebut diungkapkan dalam berbagai cara, misalnya member sesajen , pembacaan mantera-mantera oleh seorang dukun kepada arwah nenek moyang dianggap mempunyai kekuatan ghaib. Pada zaman prasejarah manusia percaya akan kekuatan ghaib baik itu berasal dari roh (animimisme) maupun kekuatan yang berasal dari benda-benda (dinamisme).[2]
Upacara perkawinan merupakan bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Penyelenggaraan  upacara perkawinan itu sangat penting bagi pembinaan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan hal itu disebabkan  salah satu fungsi dari upacara perkawinan adalah sebagai penguat norma-norma  serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku, hal ini secara simbolis ditampilkan melalui perayaan dalam bentuk upacara perkawinan. Sehingga dengan upacara perkawinan tersebut membangkitkan rasa aman bagi masyarakat dilingkungannya dan dapat pula dijadikan pegangan  bagi mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku sehari-hari. Biasanya upacara perkawinan ini masih mempunyai hubungan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan diluar kemampuan manusia. Mereka percaya tidak semua usaha manusia didapat dengan lancer, tetapi terkadang mengalami hambatan, rintangan yang sulit dipecahkan. Ini semua disebabkan karena adanya keterbatasan akal dan sistem pengetahuan manusia. Oleh karena itu setiap masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, maka hal itu dipecahkan dengan religi.[3]
Tebing Tinggi adalah salah satu ibu kota kabupaten Lintang Empat Lawang, Pada masa penjajahan Hindia Belanda (sekitar 1870-1900), Tebing Tinggi memegang peran penting sebagai wilayah administratif (onderafdeeling) dan lalu lintas ekonomi karena letaknya yang strategis. Tebing tinggi pernah diusulkan menjadi ibukota keresidenan saat Belanda berencana membentuk Keresidenan Sumatera Selatan (Zuid Sumatera) tahun 1870-an yang meliputiLampung, Jambi, dan Palembang. Tebing Tinggi dinilai strategis untuk menghalau ancaman pemberontakan daerah sekitarnya, seperti Pagaralam, Pasemah, dan pinggiran Bengkulu. Rencana itu batal karena Belanda hanya membentuk satu keresidenan,             yaitu    Sumatera.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Onderafdeeling Tebing Tinggi berganti nama menjadi wilayah kewedanaan dan akhirnya pada masa kemerdekaan menjadi bagian dari wilayah kabupaten.
Sejarah dan fakta  perjuangan pembentukan kabupaten Empat Lawang. Lahirnya kabupaten Empat Lawang sejarah telah meggoreskan tintanya pada lembaran negara telah lahir sebuah kabupaten baru yaitu kabupaten Empat Lawang yang digapai dalam waktu yang sangat panjang dan sangat melelahkan sekitar 5 tahun berawal dari:
1.      Seminar sehari pembangunan ekonomi Lintang Empat Lawang kerjasama fopplel dengan pemda kabupaten Lahat pada tanggal 14 oktober 2002,
2.      Forum Perjuangan Masyarakat Lintang Empat Lawang (LPML4L) untuk pembentukan kabupaten Lintang Empat Lawang.

            Pada tanggal 20 April 2007 lalu Empat Lawang resmi menjadi kabupaten ke-15 di propinsi sumatera selatan, melepaskan diri dari kabupaten Lahat. Kabupaten Empat Lawang di sahkan melalui UU No 1 tahun 2007, kabupaten Empat Lawang yang teletak di lembah bukit barisan dan gunung Dempo, berbatasan langsung dengan kabupaten Musi Rawas yang terletak disebelah utara kota Madya Pagar Alam dan Bengkulu selatan yang terletak disebelah selatan, kabupaten Lahat sebelah timur dan kabupaten Rejang Lebong disebelah barat. Empat Lawang memiliki luas 225.644 KM2. Serta jumlah penduduk sebanyak 229.552  jiwa yang tersebar di 146 desa, di 10 kecamatan yaitu kecamatan Pendopo Lintang, kecamatan Muara Pinang, kecamatan Lintang Kanan, kecamatan Ulumusi, kecamatan Pasemah Air Keruh, kecamatan Talang Padang, kecamatan Tebing Tinggi, kecamatan sikap dalam, kecamatan saling dan kecamatan pendopo barat.Dengan terbentuknya FPML4L, usaha pembentukan Kabupaten Empat Lawang semakin terarah, mulai dari pertemuan akbar di Pendopo pada 31 Mei 2003 yang dimotori oleh Ketua IKL4L yang baru Mayjen TNI (Purn) Drs HA Syarnubi Hasyim MBA MSC, penyampaian dukungan masyarakat untuk membentuk kabupaten Empat Lawang kepada Bupati Lahat melalui Surat Nomor: 15/FPML4L/VI/2003 tanggal 18 Juni 2003 dan Audiensi Forum Perjuangan Masyarakat Lintang Empat Lawang kepada Bupati Lahat pada 26 Juni 2003. Aspirasi masyarakat lintang untuk membentuk Kabupaten Lintang Empat Lawang kemudian di respon oleh Bupati Lahat yang saat itu dijabat Drs H Harunata MM dengan melaksanakan sosialisasi pemekaran Kabupaten Empat Lawang melalui surat nomor 100/675/I/2003. Hasil sosialisai ini kemudian disampaikan Bupati Lahat kepada DPRD Kabupaten Lahat melalui surat nomor: 135/805/I2003 dan kepada Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) melalui surat bernomor :135/806/I/2003.
            Pada 13 Mei 2003, pemerintahan Kabupaten Lahat mengeluarkan surat Nomor 470/KEP/I/2004 tentang pembentukan tim penyusun rencana pemekaran Empat Lawang, pada 25 April s/d 8 Mei 2004 DPRD Kabupaten Lahat melaksanakan sidang paripurna III. Hasil paripuna tersebut, DPRD Kabupaten Lahat menyetujui pemekaran Kabupaten Lahat melalui keputusan DPRD Kabupaten Lahat Nomor 07 tahun 2004 tanggal 8 Mei 2004. Selanjutnya pada 4 Juni 2004 persetujuan DPRD Kabupaten Lahat disampaikan kepada Gubernur Sumsel. Pada 28 Juni 2004 persetujuan Guberur Sumsel tentang pembentukan Kabupaten Empat Lawang keluar, melalui surat nomor:135/2527/II/2004, yang kemudian disampaikan kepada DPRD Provinsi Sumsel.
Pada 31 Agustus 2004, DPRD Provinsi Sumsel memberikan dukungan terhadap rencana pemekaran Kabupaten Lahat di Provinsi Sumsel dengan keputusan DPRD Sumsel nomor 9 tahun 2004. Setelah melalui proses perjuangan yang cukup panjanng dari seluruh elemen masyarakat Lintang Empat Lawang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan DPR RI di Jakarta (melalui komisi III).
Didalam daerah kabupaten Empat Lawang dalam hal perkawinan atau memilih calon pasangan hidup sangat berpegang teguh pada aturan dan kebiasaan masyarakat, muda mudi daerah Empat Lawang bila sedang dilanda cinta mereka berpacaran secara sembunyi-sembunyi karena takut diketahui pihak keluarga keluarga sigadis, khususnya ayah, saudara laki-laki sigadis, bila sibujang ingin bertemu (ngece’) dengan seorang gadis maka dia harus menyuruh seseorang utusan untuk menemui gadis tersebut dan mengundang untuk bertemu disalah sebuah rumah tetangga atau keluarga, jika sigadis merasa setuju, lalu siutusan itu kembali menyampaikan berita itu kepada sibujang tadi. Didalam menyampaikan keinginan untuk berumah tangga, baik bujang maupun gadis boleh langsung menyampaikan kepada orang tua mereka secara langsung atau melalui pihak ketiga (kakek, nenek, uwak, atau kakak) bila merasa singku (malu). Setelah tiba saatnya hari yang dijanjikan untuk memadurasan, pihak keluarga sang bujang datang kerumah sigadis dan disertai oleh seorang diplomatis (pemegang rasan). Demikian juga sebaliknya pihak gadis juga menyiapkan seseorang pemegang rasan, dalam hal ini tentunya orang tersebut pandai bicara dan mengenai pada sasaran yang di inginkan oleh pemberi amanah. Untuk selanjutnya mereka akan melakukan proses pernikahan yang sesuai dengan adat yang ada dikabupaten Empat Lawang.
Selain dari adat pernikahan masih banyak lagi bentuk budaya-budaya yang ada dikabupaten Empat Lawang, tempat-tempat wisata didaerah ini juga tidak kalah dengan wisata yang ada di Pagaralam. Berikut adalah bentuk Budaya-budaya yang terdapat didaerah kabupaten Empat Lawang yaitu:
1.      Ngece’ yaitu budaya perkenalan dan percintaan bujang gadis Empat  Lawang
2.      Ngersayo yaitu budaya bekerjasama dalam bidang pertanian
3.      Budaya pernikahan kabupaten Empat Lawang
4.      Budaya pantauan pada saat Hajatan (syukuran)
5.      Budaya sedekah dusun

Berikut tempat-tempat wisata yang ada dikabupaten Empat Lawang yaitu:
 Objek Wisata
 Lokasi
 Air Terjun 7 (Tujuh) Panggung      
 Desa Tanjung Alam, Kecamatan Lintang Kanan
 Sumber Air Panas
 Desa Penantian kecamatan Pasemah Air Keruh
 Pantai Air Bayau / air Belerang
 Kecamatan Muara Pinang & Lintang Kanan
 Tebat Sakedi
 Desa Suku Dana, Kecamatan Muara Pinang
 Air Terjun Jaya Loka
 Kelurahan Jaya Loka, kecamatan Tebing Tinggi
 Pantai Musi
 Desa Terusan Lama, Kecamatan Tebing Tinggi
 Air Terjun Sange 2 (Dua) Tingkat
 Desa Terusan Baru, Kecamatan Tebing Tinggi
 Gua Batu
 Desa Manggilan, kecamatan Pendopo
 Ayek muare
 Desa Rantau Tenang, Kecamatan Tebing Tinggi
 Air Limus
 Desa Ula Dabuk, Kecamatan Talang Padang

Kemudian selain adat perkawinan dan tempat obyek wisata, ada juga jenis tari dan lagu-lagu yang ada di kabupaten Empat Lawang berikut jenis-jenis tari yang terdapat di Empat Lawang yaitu: tari sambuk, tari Gerigik, tari nunggal padi, tari ketubean, tari Mutiqh kawo. Selain itu lagu-lagu daerah Empat Lawang yaitu: lagu Empat lawang alap, lagu Epat Lawang iluk, lagu ketubean, lagu gadis kembang dusun, lagu ngersayo, lagu tuoi rasan kami, gitar tunggal (Rejung), guritan.

B.     Rumusan Masalah
          Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya,maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana asal mula nama Empat Lawang?
2.      Bagaimana  adat perkawinan dan adat istiadat yang ada di kabupaten Empat Lawang?

C.     Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui asal mula nama Empat Lawang
2.      Untuk mengetahui adat perkawinan dan adat istiadat yang ada di kabupaten Empat Lawang

D.    Manfaat penelitian
Secara teoritis hasil penelitian ini akan  berguna sebagai konstribusi pengembangan wawasan pemikiran khasanah keilmuan, kebudayaan serta pengetahuan tentang adat kebudayaan dan perkawinan daerah Lintang Empat Lawang. Secara praktis penelitian ini memberikan informasi kebudayaan dan adat perkawinan daerah Lintang Empat Lawang, khususnya masyarakat setempat dan pada umumnya masyarakat pendukung budaya lain sebagai bahan perbandingan.
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1.      Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat berguna dan memberikan konstribusi mengenai asal mula kabupaten Empat Lawang
2.      Penelitian ini diharapkan agar dapat berguna dan memberikan informasi mengenai adat pernikahan dan adat istiadat yang ada di kabupaten Empat Lawang

E.     Tinjauan pustaka
Dalam buku perubahan nilai upacara pada masyarakat dan pendukungnya  didaerah sumatera selatan yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat Sumatera Selatan, khususnya masyarakat Empat Lawang menganut agama Islam. Namun demikian masih terdapat kepercayaan yang apabila menurut ajaran agama tidak seharusnya diyakini dan dipercaya.[4] Dalam buku agama-agama yang berkembang didunia dan pemeluknya karangan K.Sukardji, menjelaskan tentang bagaimana kegiatan upacara-upacara keagamaan bagi orang primitive, dimana jenis upacara keagamaan seperti sesajen, berkorban membaca mantra-mantra, tari-tarian dan lain sebagainya.[5]
dalam buku Upacara perkawinan adat jawa karangan Thomas Wiyasa Bratawidjaja, juga menjelaskan bahwa upacara perkawinan, dimana mereka melakukan hal ini karena dalam kehidupan mereka ada tiga peristiwa yang menurutnya dianggap penting dan tidak boleh diabaikan, seperti dalam upacara perkawinan, peristiwa kelahiran dan kematian, tujuannya adalah untuk menghormati roh yang ada disekitar mereka.[6]

F.      Kerangka teori
Seseorang melakukan sebuah penelitian biasanya sangat membutuhkan sebuah teori, karena teori tersebut sangat menentukan berhasil atau tidaknya dalam suatu penelitian yang sedang kita teliti. Makan untuk membantu dan memecahkan persoalan masalah yang kita ingin pecahkan maka diperlukan teori-teori yang relevan, terhadap suatu permasalahan yang akan kita teliti.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek, yang menjadi perhatian khusus oleh ahli antropologi yaitu:  tempat upacara keagamaan yang dilakukan,  waktu upacara yang dilakukan, tanda-tanda atau alat-alat upacara serta orang-orang yang terlibat melakukan upacara tersebut.[7]
Menurut pendapat Frezer  bahwa ketika Islam belum ada dalam kebudayaan manusia dimana mereka hanya menggunakan ilmu ghaib untuk memecahkan masalah-masalah dalam hidup yang berada diluar jangkauan akal pikiran dan pengetahuan manusia. Ketika mereka menyadari bahwa ilmu ghaib tidak bermanfaat bagi mereka maka mulailah timbul kepercayaan bahwa makhluk-makhluk halus tersebut lebih berkuasa, dengan manusia yang mulai mencari hubungan dengan makhluk ghaib sehingga timbul religi.[8]

G.    Metode penelitian
Metode penilitian adalah  suatu cara untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan penelitan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[9] Pengertian lain bahwa Metode Penelitian adalah suatu cara untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan penelitian guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dalam penelitian tersebut, penulis menggunakan metode ilmiah, yaitu metode deduktif dan metode induktif. Deduktif adalah pengambilan kesimpulan mengenai kebenaran khusus dari kebenaran umum yang telah diterima, sedangkan Induktif merupakan cara menyimpulkan kebenaran umum dari kebenaran-kebenaran khusus.
1.      Metode pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yaitu: pendekatan Antropologi dan pendekatan Sosiologi, Antropologi adalah ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka ragam bentuk, kepribadian, masyarakat serta kebudayaan.[10] Sedangkana Sosiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang perkembangan organisasi-organisasi, asas-asas dan masalah-masalah kehidupan manusia sebagai  makhluk kolektif.[11]

2.      Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field Research), yakni mengadakan pengamatan langsung mengenai kejadian-kejadian yang berkenaan dengan judul penelitian.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan model penelitian studi kasus. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya: prilaku, persepsi motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah.[12] Studi kasus adalah salahy satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial, secara umum studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “How dan Why” dan dimana fokus penelitiannya terletak pada fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata.[13]

3.      Jenis dan sumber data
a.       Jenis data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu data yang berkenaan dengan kebudayaan dan adat perkawinan masyarakat daerah Lintang Empat Lawang.
b.      Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah menggunakan data Primer dan Sekunder. Data primer adalah data pokok, dimana data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berhubungan , dengan kepentingan pengumpulan data yang penulis perlukan seperti pemuka adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pengikut desa yang pernah melaksanakan adat perkawinan. Sedangkan data sekunder adalah  data penunjang yang diperoleh dari buku-buku yang berkenaan dengan judul penelitian, seperti buku-buku, majalah, dokumentasi maupun arsip yang ada kaitannya dengan pokok bahasan.

4.      Tekhnik Pengumpulan Data
Adapun tekhnik pengumpulan data yang dibutuhkan:
a.       Observasi
Yaiyu penulis melakukan penelitian dengan terjun langsung ketempat kejadian atau lapangan untuk melihat lebih dekat tentang pelaksanaan yang diteliti.
Observasi adalah metode atau cara untuk mengumpulkan data dan informasi dengan jalan pengamatan/ penelitian yang dilakukan secara sistematis, logis dan rasional (masuk akal) mengenai fenomena-fenomena yang diselidiki.[14]
b.      Interview
Yaitu mewawancarai langsung kepada tokoh masyarakat, pemuka adat, tokoh agama, guna untuk mendapatkan  data tentang kebudayaan dan adat pernikahan daerah Lintang Empat Lawang.Interview adalah mengadakan wawancara dipergunakan untuk menyempurnakan kebenaran pengamatan penulis kepada pemuka adat, dan tokoh masyarakat untuk dapat memberikan informasi secara jelas dan benar untuk mendapatkan data tentang proses pelaksanaan dan aspek-aspeknya.

c.       Dokumentasi
Yaitu proses suatu kegiatan yang sedang berlangsung guna untuk memperoleh tentang kondisi sarana dan prasarana serta monografi desa. Dokumentasi digunakan untuk kebutuhan tahap eksplorasi dan juga untuk mengungkapkan data yang bersifat administrasi dan data yang bersifat dokumentasi.

5.      Tekhnik Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif yaitu mengemukakan dengan menguraikan seluruh permasalahan yang ada dengan sejelas-jelasnya. Kemudian uraian tersebut ditarik kesimpulan secara deduktif yaitu menyimpulkan dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat khusus, sehingga penyajian hasil penelitian ini dapat dengan mudah dipahami. Dalam menganalisis data ini menggunakan data kualitatif deskriptif yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari observasi, dokumen, interview kepada key information, selanjutnya data-data tersebut akan diverifikasi serta dihubungkan dan dianalisa menurut isinya sehingga mendapatkan kesimpulan yang jelas dan mudah dipahami.























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asal mula nama Empat Lawang
Arti kata Lawang yang sesungguhnya adalah Lawangan atau pamitan, yaitu orang yang terkemuka atau sesepuh dan dapat pula diartikan pahlawan.pada zaman nenek moyang dulu, terdapat empat pahlawan yang merangkap jadi iman dan juga menjadi pimpinan di daerah Empat Lawang dengan kawasan wilayah I.
Marga Tedajen, sekarang ini disebut Marga Lubuk Puding dengan Zariatnya sekarang ini adalah pangeran Halek, Demang Achmad (dari komering) istrinya adik pangeran (Mariatul) anaknya bapak Hasan Belado, bapak Drs. Halek. dII.II. Marga Kejaten Mandi Ulu Musi, sekarang disebut Marga Tanjung Raya dengan zuriatnya: pangeran H.Abubakar anaknya Pasirah A.Zaini (alm). dII.III.  Marga Muara Pinang, dengan zuriatnya Pasirah Sani.IV. Marga Muara Danau, dengan zuriatnya pangeran Majid anaknya Pasirah A.K. Matjik dan Demang Umar disamping ke empat marga tersebut diatas ada marga tersendiri dulu disebut  Miji kalau sekarang disebut  dengan istimewa yaitu Marga Singkap dalam Musi Ulu sekarang disebut Marga Karangdapo daerahnya meliputi Talang Padang yang dipimpin oleh puyang Kagade yang nama aslinya Nung Kodo Lindung.
Daerah Marga Tedajen / Marga Lubuk Puding dari Wates sampai Karangdapo, daerah Marga Kejatan Mandi Musi Ulu / Marga Tanjung Raya adalah dari dusun Kungkilan terus kearah  Pagaralam sampai ke Marga Gunung Meraksa, yang kearah Tebing Tinggi sepanjang sungai Musi sampai ke Saling. Dari dusun Muara Pinang sampai dusun sawah disebut Lintang Kiri dikenal sebagai Marga Semidang, puyangnya yaitu Serunting Sakti. Sedangkan daerah Muara Danau disebut Lintang Kanan. Sesudah zaman Belanda daerah ini menjadi 13 Marga yaitu: Marga Saling, Marga Kupang, Marga Batu Pance, Marga Talang Padang, Marga Tanjung Raya, Marga Karangdapo, Marga Lubuk Puding, Marga Gunung Meraksa, Marga Tanjung Raman, Marga Babatan, Marga Muara Danau, Marga Muara Pinang dan Marga Seleman.
Pada zaman sunan Palembang berperang dengan tentara Tuban di Jawa, pada waktu itu sunan mengirim utusan ke Empat Lawang memohon bantuan untuk berperang dengan kerajaan Tuban, maka empat pahlawan ditambah puyang Kagede bersedia membantu sunan, dengan membawa empat puluh pasukan lalu mereka berkumpul disebuah batu besar untuk berunding/ berencana. Batu besar tempat mereka berunding akhirnya menjadi sebuah daerah dan menjadi Marga Singkap pelabuhan dan terakhir menjadi Marga Batu Pance. Dari hasil perundingan mereka diatas batu besar tadi, mereka langsung berangkat ke Tuban beserta pasukan masing-masing dan langsung berperang dengan kerajaan Tuban. Kerajaan Tuban kalah, tetapi puyang / pahlawan dari Muara Pinang terbunuh, mengakui kekalahannya kerajaan Tuban menyerahkan Gong Pusaka Gading, Kelinteng Aur Lanting dan anak raja satu perempuan dan satu laki-laki sebagai ganti puyang yang terbunuh waktu berperang. Anak raja laki-laki tadi di dudukan di Muara Pinang, sedangkan yang perempuannya kawin dengan salah satu anggota pasukan dan harus di Linggihkan (dudukan) yang mana sekarang menjadi Dusun Lingge. Sedangkan Kelintang Aur Lanting sampai sekarang ini masih ada di Karangdapo dan Gong Pusaka Gading sampai sekarang ini tidak tahu dimana keberadaannya
Setelah menang berperang, para pahlawan ini kembali ke Palembang melaporkan kepada sunan bahwa mereka sudah menaklukan kerajaan Tuban, semua pahlawan ini oleh sunan Palembang ditempatkan khusus dirumah Rakit diatas sungai Musi, kepulangan pahlawan ini menimbulkan banyak yang iri atas keberhasilan mereka menaklukan kerajaan Tuban, akhirnya mereka memfitnah para pahlawan ini dengan mengatakan bahwa, para pahlawan ini akan menaklukan sunan Palembang, “kerajaan Tuban saja bisa ditaklukan, apalagi sunan Palembang”. Akhirnya sunan Palembang termakan dengan fitnah ini yang akhirnya sunan Palembang berencana untuk memusnahkan para pahlawan ini, dengan dalih menyambut para pahlawan ini sauna Palembang mengadakan jamuan makan malam di Istana sunan dengan mengundang para pahlawan ini. Tetapi pada waktu itu puyang kagede telah mencium niat tidak baik sunan ini, bahwa makanan ini hanya jebakan saja, maka pada malam itu puyang kagede tidak hadir dengan alas an sakait, apa yang telah diduga oleh puyang Kagede ternyata benar, sebab semua yang hadir dapat ditawan oleh sunan dalam keadaan mabuk, melihat hal ini puyang Kagede tidak tinggal diam, maka mengamuklah puyang Kagede dengan menyerang istana sunan, yang akhirnya dapat dibebaskan puyang-puyang yang lain, dengan kesaktian yang dimiliki oleh puyang Kagede dan puyang yang lain akhirnya menjadi peperangan yang besar, sunan Palembang mengalami kekalahan dan juga terbunuhnya anak sunan Palembang. Akhirnya sunan Palembang mengadakan damai dengan para Empat Lawang ini, dimana diambil kebijakan bahwa nyawa harus diganti nyawa, karena putra mahkota sunan Palembang meninggal, sebagai gantinya puyang Kagede harus tinggal di Istana. Berselang beberapa tahun kemudian terjadi keributan diantara puyang-puyang lain di Empat Lawang ini mungkin istilah lintang berebut KUNDU. Maksudnya berebut siapa yang tua yang patut jadi pemimpin, akhirnya beberapa puyang mengambil inisiatif untuk mengadakan semedi, siapa yang patut menjadi pemimpin diantara mereka, beberapa hari kemudian didapatlah petunjuk, bahwa “kenapa puyang yang bertuah (punya kelebihan) ditinggal di Palembang”. Maka dikirimlah utusan ke susnan Palembang untuk menemui puyang kagede. Maka diadakanlah perundingan dengan sunan Palembang. Puyang kagede dan puyang yang lainnya yang akhirnya disepakati puyang Kagede diangkat sebagai sunan sebagai perwakilannya didaerah uluan Palembang yang berkedudukan di Tebing Tinggi dengan istilah pepatih/perwakilan sunan pada zaman Belanda daerah Tebing Tinggi dipegang oleh Assisten Residen, setelah berkembang dan berjalan cukup lama. Kedudukan Assisten ini akhirnya dipindahkan ke Lahat, mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lainnya oleh pemerintahan Belanda dahulu, sedangkan pertimbangan sunan dulu adalah selain puyang Kagede mewakili sunan diseluruh daerah uluan juga pertimbangan dapat berkumpul kembali kedaerah puyang-puyang di Empat Lawang.
B.     Adat perkawinan daerah Lintang Empat Lawang
Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki yang bukan mahrom.[15] Dalam arti lain perkawinan adalah sunatullah, perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan bahkan tumbuh-tumbuhan.[16] Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria pasangan pengatin, tetapi juga kedua orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.[17]
http://htmlimg2.scribdassets.com/1vhqf76v0g108w2q/images/42-81932850a9.jpg
Lintang Empat Lawang yang letaknya di ujung barat kabupaten Lahat, memiliki corak dan kebiasaan tersendiri dalam hal proses perkawinan atau hal memilih calon pasangan hidup, konon pada masa lalu sangat tertib dan sangat berpegang teguh pada aturan dan kebiasaan dalam bermasyarakat, bila ada yang melanggar aturan yang tidak tertulis itu bisa saja berakibat fatal sebab dapat mengundang perkelahian bahkan mungkin sampai ke pembunuhan, mengerikan memang kedengarannya, tetapi itulah ciri khas daerah Lintang Empat Lawang. Masyarakat Lintang Empat Lawang umumnya memiliki sifat yang halus dan perasa, walaupun kasar tindakannya. Jarang sekali orang Lintang Empat Lawang kalau ingin menyampaikan keinginannya dengan cara tembak langsung, paling tidak basa basi dulu, disamping cukup memiliki toleransi dan suka membantu, sikap ini tercermin bila mereka mengolah tanah pertanian misalnya, Ngersayo Nebang, Ngersayo Nungal, Ngersayo Ngetam dan lain-lain. Dengan sikap yang demikian ini sebetulnya dapat memupuk rasa persaudaraan yang erat, saling mengenal satu sama lain. Disaat Ngersayo-ngersayo ini juga memberikan kesempataan muda-mudi berkomunikasi. Bahkan dapat menciptakan hubungan percintaan dan berakhir pada perkawinan. Muda-mudi daerah Lintang Empat Lawang bila sedang dilanda cinta mereka melakukan hubungan sembunyi-sembunyi karena takut diketahui pihak keluarga si gadis, khususnya ayah atau saudara laki-laki sigadis tersebut, kalau saja pihak keluarga sigadis tahu atau sengaja bersendagurau dihadapan mereka, maka itu dianggap tidak menghargai (Ngampuk) hal ini yang sering “Kena Puntung” bila sibujang ingin bertemu (Ngecek) dengan seorang gadis, maka dia harus menyuruh seseorang utusan untuk menemui gadis tersebut dan mengundang untuk bertemu disalah sebuah rumah tetangga atau keluarga, jika sigadis merasa setuju, lalu siutusan itu kembali menyampaikan berita itu kepada sibujang tadi. Didalam menyampaikan keinginan untuk berumah tangga, baik bujang maupun gadis boleh langsung menyampaikan kepada orang tua mereka secara langsung atau melalui pihak ketiga (kakek, nenek, uwak, atau kakak) bila merasa singku (malu). Setelah tiba saatnya hari yang dijanjikan untuk memadurasan, pihak keluarga sang bujang datang kerumah sigadis dan disertai oleh seorang diplomatis (pemegang rasan). Demikian juga sebaliknya pihak gadis juga menyiapkan seseorang pemegang rasan, dalam hal ini tentunya orang tersebut pandai bicara dan mengenai pada sasaran yang di inginkan oleh pemberi amanah. Dirumah sigadis sebagai ajang pertemuan untuk memadurasan, para sanak keluarga telah berkumpul untuk mendengarkan dan member dorongan agar rasan tersebut berjalan dengan baik dan lancer. Dua orang utusan pemegang rasan mulai melakukan pembicaraan dengan taktis dan penuh lika-liku, yang akhirnya menemukan kata sepakat yaitu menetapkan tanggal pernikahannya, permintaan mas kawin dan bantuan materi (bentalan yang mencakup hewan potong, beras, uang dan sebagainya). Kesemuanya itu diperuntukan sebagai biaya pelaksanaan resepsi pernikahan, kecuali mas kawi yang berupa emas adalah merupakan hak penuh untuk sigadis, suasana pertemuan tidak menjadi tegang lagi dengan adanya kata sepakat telah didapat, janjipun telah diikat dan sampai pada giliran kapan bujang akan diantat kini sibujang telah menjadi calon penganten dan sigadis menjadi calon bunting (pengantin perempuan), masing-masing diantar kerumah calon mertua untuk mengisi masa pertunangan selama jangka waktu yang telah ditentukan dalam proses calon bunting(pengantin perempuan) diantar kerumah calon penganten (pengantin laki-laki) dan sebaliknya yang disebut dengan istilah  “Baantatan”, biasanya diawali  calon bunting (pengantin perempuan)  dahulu datang kerumah calon penganten (pengantin laki-laki), barulah secara bersamaan  calon penganten dan calon bunting datang kerumah calon bunting, bagi orang tua dalam menyambut calon menantu, biasanya kalau zaman dahulu diperahkan ayek sighehg (air sirih) dan kembang-kembangan dan disertai dengan doa-doa pelaksanaan “Baantatan” ini disertai dengan pesta kecil yang disebut “Nyerawo” dilakukan pada hari penganten (pengantin laki-laki) mau turun dari rumah sebagai ungkapan rasa kegembiraan, maka muda-mudi mengadakan acara Bajidur, tari-tarian (dibawah tahun 60-an) dan ramah tamah (kalau sekarang) beberapa hari setelah selesai “Baantatan”, calon bunting dan calon penganten dikenalkan dengan sanak keluarganya yang disebut dengan istilah “Nundokan bunting atau penganten”, setelah itu mereka akan meniti masa pertunangan, selama masa pertunangan mereka diharuskan membantu segala macam pekerjaan mertua, masa pertunangan ini tergantung dari hasil perasaan dulu, bisa satu tahun atau lebih, masa pertunangan yang panjang ini dimaksudkan untuk penilaian calon bunting/penganten baik sikap, tingkah laku, kejujuran maupun keimanannya. Disamping itu juga masalah keterampilan, kemampuan dan kesungguhan untuk berumah tangga, penilaian semacam ini nampaknya perlu dilakukan dikarenakan masyarakat daerah Lintang Empat Lawang umumnya tidak mengalami masa berpacaran/ belinjangan yang cukup lama, untuk menilai isi hati calon yang dipilihnya tersebut. Hal yang wajar bila muda-mudi daerah Lintang Empat Lawang baru satu atau dua kali bertemu/ ngecek, langsung memadurasan. Sebagai konsekuensinya bila penilaian  antara calon bunting/penganten tidak cocok, maka perkawinan mereka akan dibatalkan. Betapa sakit hati kalau mengalami hal semacam ini bukankah tradisi calon tersebut sudah membantu segala macam pekerjaan calon mertua (nebas, nebang, nyawat, ngetam, pokok o nyadi kebau putih), disamping itu nama baikpun sudah tercemar, sebab dimata masyarakat orang tersebut tidak ada kecakapan (kedaekan), sehingga menyulitkan untuk meminang gadis lain. Oleh karena itu calon bunting dan calon penganten harus berhati-hati jangan sampai rasan batal (rasan orong). Jika perlu kalau tadinya kurang rajin bekerja dan beribadah maka pada masa pertunangan harus ditingkatkan, agar mendapat penilaian (penindaian) dari calon mertua. Bila masa pertunangan ini berjalan lancer dan cocok menurut penindaian (penilaian) calon mertua, maka proses selanjutnya adalah acara pesta pernikahan.
Menjelang dua minggu lagi pesta pernikahan, orang tua calon bunting (pengantin perempuan) mengadakan pertemuan secara singkat dengan orang tua calon penganten (pengantin laki-laki) dan menanyakan persiapan bentalan yang dijanjikan, hari apa bisa diantar. Dari hasil pertemuan akan didapat jawaban kepastian kapan bentalan akan dikirim, maka sebelum bentalan diantar kerumah calon bunting (pengantin perempuan) akan didirikan Lembongan. Lembongan ini didirikan  gunanya untuk perluasan tempat memasak, sebab kapasitas dapur tidak memungkinkan, karena terlalu sempit menampung orang banyak, dari mulai mendirikan Lembongan hingga pesta selesai diadakan pembagian tugas yaitu: mendirikan Lembongan dikerjakan oleh orang tua laki-laki, sedangkan ibu-ibu mengambil daun-daunan dan mengumpulkan sayur-sayuran misalnya mengambil nangka, terong, kates dll. Yang diambil dari kebun sendiri. Orang tua calon bunting/penganten (pengantin perempuan/laki-laki) mengundang sanak keluarga (Bejeghum) agar meramaikan pesta pernikahannya, sedangkan muda-mudi yang gadis membuat kue-kue dan yang bujang membuat dekorasi (hiasan). Bujang gadis yang bekerja disini disebut Gertang (matangaguk). Beberapa hari kemudian barulah bentalan datang dari calon pengatin laki-laki pada hari mengantar bentalan pengantin laki-laki tersebut dating kerumah pengantin perempuan bersama bentalan dan ditempatkan dirumah khusus buat calon pengantin laki-laki yang disebut rumah mendan. Dirumah ini pengantin laki-laki hanya ditemani oleh inang yang dipilihnya sendiri, untuk melayani keperluannya dalam menghadapi hari pesta pernikahannya, sampai selesai setibanya bentalan dirumah calon pengantin perempuan (rumah pangkal).
Kesibukan semakin bertambah, para warga sekitar berdatangan  dan membawa beras, ayam dan lain-lain sebagai sumbangan (petolong), disamping itu mereka membantu segala macam pekerjaan yang ada. Tiga hari lagi menjelang hari pesta pernikahan, tuan rumah mengumpulkan sanak keluarga dan warga sekitarnya untuk menyerahkan tugas secara resmi yang disebut “Nyerahkan Aguk” (kalau sekarang sama dengan membentuk panitia). Orang yang diberi tugas ini harus bertanggung jawab penuntasan tugas yang diberikan kepadanya, baik itu soal masak memasak ataupun urusan lampu dan sebagainya, biasanya para pengemban tugas mulai melakukan kegiatannya pada hari malemang (satu hari sebelum hari pernikahan), hingga esok harinya hari pesta pernikahan (hari nyemelek atau nyemok=nyelemok). Kini hari malemang telah tiba, hari berganti senja, senjapun berganti malam, para sanak keluarga, alim ulama dan handai tolan telah memenuhi ruangan untuk menyaksikan akad nikah. Calon pengantin laki-laki mengenakan pakaian adat ala pakaian haji mulai diturunkan dari rumah mendan dan akan dibawa kerumah pangkal, selangkah demi selangkah pengantin laki-laki diturunkan para penjemput dan diiringi dengan arak-arakan, hati sang pengantin berdebar-debar, getaran jantungnya kian berdetup semakin kencang, karena membayangkan sesaat lagi dia akan resmi menjadi pengantin. Setibanya pengantin laki-laki dirumah pengantin perempuan, dia sambut bagai pangeran yang akan dinobatkan menjadi raja, kalam Ilahiah mulai dikumandangkan, segala petunjuk dan persyaratan dari ajaran agama telah dibacakan. Kini giliran pengantin laki-laki mengucapkan akad nikah yang disaksikan khalayak ramai, dalam mengucapkan akad nikah harus betul-betul memenuhi ketentuan agama Islam. Acara akad nikah telah selesai pengantin dipersilahkan duduk berdampingan (bersanding). Diatas pelaminan, disuasana yang menggembirakan  ini berbagai bentuk hiburan akan diturunkan untuk menghangatkan suasana pesta pernikahan ini. Hiburan dalam pesta pernikahan ini telah banyak mengalami perubahan, dari kurun waktu sampai dengan kurun waktu sekarang, sebelum tahun 20-an. Hiburan atau acara kesenian yang ada “Ngala sambai atau Badindin”, yaitu muda-mudi mengungkapkan isi hati lewat seni, apakah itu berupa keinginan hidup atau berbau sejarah perjuangan. Hiburan semacam ini dianggap paling tua, kemudian tari-tarian sampai mereka mengenal alat musik  sederhana yang berupa jidur, ketipung, kulintang dan gong. Setelah tahun 20-an sampai 50-an acara hiburan lebih ditonjolkan yang bersifat keagamaan misalnya kosidah, diqir, seni baca berzanji dan seni baca al-qur’an, sedang alat musik berupa terbangan, pada masa ini bukan berarti seni tradisional sebelumnya sudah hilang sama sekali, contohnya bajidur masih tetap dipakai namun lebih dominan dalam acara pesta pernikahan adalah kosidahan. Pada mulanya kosidah yang mereka kenal hanya 24 macam diantaranya yaitu: Roqbi, Hijaz, Yaman Hijaz, Sika dan seterunya. Kemudian berkembang menjadi ratusan macam, kasidah yang pada umumnya diambil dari bacaan berzanji dan digelarkan pada malam pesta pernikahan, dan dipertandingkan dengan mengadu suara mas masing-masing. Disamping terbangan  dikenal juga alat musik gitar, musik gitar ini adalah pengembangan dari Jidur, dimana lirik dan makna lagunya sama, serta vokalnya dibawakan sendiri hanya saja nama lagu yang dibawakan disebut Rejung. Sedangkan irama Rejung dapat berkembang bermacam-macam, melalui Rejung dapat pula mengungkapkan isi hati, menceritakan suka duka dalam perjalanan hidup, merayu dan membuat hati sang gadis tersentuh serta menghibur hati dikala sedih. Namun gitar ini tidak digunakan pada acara pesta pernikahan, sedang terbangan hanya digunakan dalam pesta pernikahan misalnya “ngarak bunting dan penganten, atau mendampingi lagu diqir/ratib saman” pada malam pesta pernikahan. Di tahun 50-an mulai dikenal orkes, orang yang pertama mengenalkan  musik orkes didaerah Lintang Empat Lawang bernama Bodin, asal dusun muara Karang, sampai akhirnya dia membentuk suatu group orkes dengan nama Jaya Jagad, tokoh seniman ini dan dan bersama orkesnya menjelajahi hampir setiap pelosok daerah Lintang Empat Lawang untuk menghibur pada acara pesta pernikahan. Musik orkes ini diadakan mulai dari malam akad pernikahan sampai hari pesta pernikahan (hari nyelemok/nyemok) dan ditempatkan pada tempat khusus yang disebut Balai. Sedangkan kegiatan yang dilakukan dirumah pangkal pada malam hari akad nikah dan pesta akad nikah, menjadi tempat untuk menjamu para undangan yang dating sebelum sampai waktu acara pengantin perempuan dan laki-laki bertamat Qur’an (khatam Qur’an), disamping acara bertamat Qur’an juga dibacakan berzanji, Marhabah, doa-doa dan dilanjutkan dengan jamuan makan siang (nyelemok/nyemok).
Bila acara nyelemok/nyemok telah selesai, para tamupun berpamitan pulang, sedangkan pengantin perempuan dan laki-laki baru ditunggalkan (tidur bersama) setelah hari nyerawo, yaitu dua hari setelah pernikahan selesai, pada hari tersebut Lembongan/sempeng akan  dibongkar dan semua gertang dan inang diantar pulang secara resmi, dengan diberi hidangan Setalam sebagai ucapan terimakasih. Baru pada hari ketiga  atau keempat pengantin perempuan dan laki-laki tidur bersama, dalam menunggalkan pengantin ini ditunjuk seorang perempuan yang sudah nenek-nenek untuk mengantar pengatin laki-laki kekamar pengantin perempuan, sang nenek memberikan petunjuk dan membisikan sesuatu yang rahasia, lalu sinenek langsung keluar dari kamar, berikutnya kita tidak tahu apa yang terjadi didalam kamar. Sebagai penutup adat pernikahan didaerah Lintang Empat Lawang.

Disini kami jelaskan dalam menentukan pasangan hidup ada beberapa cara yang dikenal didaerah Lintang Empat Lawang adalah sebagai berikut:
1.      Rasan samo galak dan dituokan
Yaitu muda-mudi suka sama suka dan orang tua kedua belah pihak sama-sama setuju, prosesnya telah diuraikan diatas
2.      Maling Tubu
Orang tua disalah satu pihak ada yang belum setuju kalau anaknya cepat menikah atau karena alasan lain, sehingga setiap mau dituokan selalu mengalami kegagalan. Maka sang muda-mudi sepakat untuk Maling Tubu, yaitu sang bujang menemui gadisnya untuk diajak kerumahnya, dengan cara ini akan memaksa orang tua untuk berasan, dalam Maling Tubu ini ada aturannya, antara lain sang bujang harus menitipkan “keris” pada pemerintah kampong (kalau sekarang disebut kades, zaman dahulu disebut Gindo), atau paling tidak keris tersebut diletakkan dibawah bantal sang gadis (tentu menyuruh sang gadis itu sendiri melakukannya), sebab Maling Tubu ini tidak boleh ketahuan oleh keluarga sang gadis, bila sampai ketahuan berakibat batal hak, yang disebut “kecandak”. Keris yang dititipkan dirumah Gindo atau yang diletakkan dikamar sang gadis tersebut dimaksudkan sebagai jaminan untuk keselamatan sang gadis, bahwa yang membawa adalah anak laki-laki dan berniat baik untuk menyunting gadis, gadis yang dibawa harus ditemani oleh beberapa orang temannya, sang bujang pun demikian, baru kemudian seorang yang ditunjuk sebagai utusan dari pihak bujang untuk memberitahukan  kepada keluarga gadis, bahwa anaknya sekarang berada dirumah sianu, untuk selanjutnya diproses seperti biasa.
3.      Rasan Tambik anak dan rasan Kesah
Pada saat memdurasan harus tetap ditempat  mereka menetap setelah berumah tangga nanti “Rasan Tambik anak”, berarti setelah mereka menikah menetap dan mencari nafkah dirumah bunting(pengantin perempuan). Sedangkan rasan Kesah berarti perempuan ikut kerumah pengantin laki-laki dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Laki-laki harus memberikan uang yang wajar dan
b.      Memberikan keris kepada orang tua perempuan, keris ini dimaksudkan sebagai “Tebus Semangat”.
4.      Kawin Cindo
Yaitu pernikahan yang masih ada hubungan family, hal ini terjadi biasanya karena keinginan orang tua, dan bisa jadi karena keduanya suka sama suka.



                [1] Soerjono Soekanto dan Soelaiman B. Tobeka, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1981),hlm. 86
                [2] Harun Nasution, Islam di tinjau dari berbagai aspek, (Jakarta: UI Pres, 1985), hlm.10
                [3] Koentrajaningrat, Metode-metode Antropologi dalam penyelidikan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia (Jakarta: UI Pres,1980), hlm. 221-222
                [4] Ali Mansur, Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada masyarakat dan pendukungnya di daerah Sumatera Selatan, (Jakarta: Dekdikbud, 1998/1999), hlm.14
                [5] Sukardji, Agama-agama yang berkembang di Dunia danPemeluknya, (Bandung: Angkasa,1993), hlm.76
                [6] Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm 23
                [7] Koentrajaningrat, Pengantar Antropologi II Pokok-pokok Etnografi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 378
                [8] Koentrajaningrat, Pengantar Antropologi II, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998) hlm. 198-199
                [9] Burhan Ashofa, metode penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,1996), hlm.70
                [10] Ariyono Suyono, Kamus Antropologi, (Jakarta: Presindo, 1986),hlm.26
                [11] Ibid hlm.380
                [12] Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT.Remaja Rosda Karya.2007).hlm 6
                [13] Robert K.Yin, Studi Kasus (Desain dan Metode), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2003), hlm 1
                [14] Zainal Arifin, 1998, Menyusun Perangkat Pembelajaran, (Bandung: Remaja Karya) hlm. 49
                [15] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: CV.Sinar baru, 1986), hlm. 374
                [16] Alhamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1980), hlm. 19
                [17] Soerjono Wianjodipoero, Pengantar dan asas-asas hukum adat, (Jakarta: PT,Gunung Agung, 1984), hlm.122