BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wujud dari
sistem kebudayaan dan unsur yang universal berasal dari kebiasaan atau adat
istiadat. Adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat, dan
kekuatan yang mengikatnya tergantung pada masyarakat tersebut, adat
diperincikan kepada beberapa unsur atau kompleks budaya.[1]
Ritual keagamaan dilandasi oleh emosi keagamaan yang terdapat pada jiwa
manusia. Dengan emosi keagamaan ini percaya bahwa ada kekuatan adikodrati
diatas manusia, rasa percaya tersebut diungkapkan dalam berbagai cara, misalnya
member sesajen , pembacaan mantera-mantera oleh seorang dukun kepada arwah
nenek moyang dianggap mempunyai kekuatan ghaib. Pada zaman prasejarah manusia
percaya akan kekuatan ghaib baik itu berasal dari roh (animimisme) maupun
kekuatan yang berasal dari benda-benda (dinamisme).[2]
Upacara
perkawinan merupakan bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat
pendukungnya. Penyelenggaraan upacara
perkawinan itu sangat penting bagi pembinaan sosial budaya masyarakat yang
bersangkutan hal itu disebabkan salah
satu fungsi dari upacara perkawinan adalah sebagai penguat norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku,
hal ini secara simbolis ditampilkan melalui perayaan dalam bentuk upacara
perkawinan. Sehingga dengan upacara perkawinan tersebut membangkitkan rasa aman
bagi masyarakat dilingkungannya dan dapat pula dijadikan pegangan bagi mereka dalam menentukan sikap dan
tingkah laku sehari-hari. Biasanya upacara perkawinan ini masih mempunyai
hubungan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan diluar kemampuan manusia.
Mereka percaya tidak semua usaha manusia didapat dengan lancer, tetapi
terkadang mengalami hambatan, rintangan yang sulit dipecahkan. Ini semua
disebabkan karena adanya keterbatasan akal dan sistem pengetahuan manusia. Oleh
karena itu setiap masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, maka
hal itu dipecahkan dengan religi.[3]
Tebing Tinggi
adalah salah satu ibu kota kabupaten Lintang Empat Lawang, Pada masa penjajahan
Hindia Belanda (sekitar 1870-1900), Tebing Tinggi memegang peran penting
sebagai wilayah administratif (onderafdeeling) dan lalu lintas ekonomi karena
letaknya yang strategis. Tebing tinggi pernah diusulkan menjadi ibukota
keresidenan saat Belanda berencana membentuk Keresidenan Sumatera Selatan (Zuid
Sumatera) tahun 1870-an yang meliputiLampung, Jambi, dan Palembang. Tebing
Tinggi dinilai strategis untuk menghalau ancaman pemberontakan daerah
sekitarnya, seperti Pagaralam, Pasemah, dan pinggiran Bengkulu. Rencana itu
batal karena Belanda hanya membentuk satu keresidenan, yaitu Sumatera.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Onderafdeeling Tebing Tinggi berganti nama menjadi wilayah kewedanaan dan akhirnya pada masa kemerdekaan menjadi bagian dari wilayah kabupaten.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Onderafdeeling Tebing Tinggi berganti nama menjadi wilayah kewedanaan dan akhirnya pada masa kemerdekaan menjadi bagian dari wilayah kabupaten.
Sejarah dan
fakta perjuangan pembentukan kabupaten
Empat Lawang. Lahirnya kabupaten Empat Lawang sejarah telah meggoreskan
tintanya pada lembaran negara telah lahir sebuah kabupaten baru yaitu kabupaten
Empat Lawang yang digapai dalam waktu yang sangat panjang dan sangat melelahkan
sekitar 5 tahun berawal dari:
1.
Seminar sehari pembangunan ekonomi Lintang
Empat Lawang kerjasama fopplel dengan pemda kabupaten Lahat pada tanggal 14
oktober 2002,
2.
Forum Perjuangan Masyarakat Lintang Empat
Lawang (LPML4L) untuk pembentukan kabupaten Lintang Empat Lawang.
Pada tanggal 20 April 2007 lalu
Empat Lawang resmi menjadi kabupaten ke-15 di propinsi sumatera selatan,
melepaskan diri dari kabupaten Lahat. Kabupaten Empat Lawang di sahkan melalui
UU No 1 tahun 2007, kabupaten Empat Lawang yang teletak di lembah bukit barisan
dan gunung Dempo, berbatasan langsung dengan kabupaten Musi Rawas yang terletak
disebelah utara kota Madya Pagar Alam dan Bengkulu selatan yang terletak
disebelah selatan, kabupaten Lahat sebelah timur dan kabupaten Rejang Lebong
disebelah barat. Empat Lawang memiliki luas 225.644 KM2. Serta
jumlah penduduk sebanyak 229.552 jiwa
yang tersebar di 146 desa, di 10 kecamatan yaitu kecamatan Pendopo Lintang,
kecamatan Muara Pinang, kecamatan Lintang Kanan, kecamatan Ulumusi, kecamatan
Pasemah Air Keruh, kecamatan Talang Padang, kecamatan Tebing Tinggi, kecamatan
sikap dalam, kecamatan saling dan kecamatan pendopo barat.Dengan terbentuknya FPML4L, usaha pembentukan Kabupaten Empat
Lawang semakin terarah, mulai dari pertemuan akbar di Pendopo pada 31 Mei 2003
yang dimotori oleh Ketua IKL4L yang baru Mayjen TNI (Purn) Drs HA Syarnubi
Hasyim MBA MSC, penyampaian dukungan masyarakat untuk membentuk kabupaten Empat
Lawang kepada Bupati Lahat melalui Surat Nomor: 15/FPML4L/VI/2003 tanggal 18
Juni 2003 dan Audiensi Forum Perjuangan Masyarakat Lintang Empat Lawang kepada
Bupati Lahat pada 26 Juni 2003. Aspirasi masyarakat lintang untuk membentuk
Kabupaten Lintang Empat Lawang kemudian di respon oleh Bupati Lahat yang saat
itu dijabat Drs H Harunata MM dengan melaksanakan sosialisasi pemekaran
Kabupaten Empat Lawang melalui surat nomor 100/675/I/2003. Hasil sosialisai ini
kemudian disampaikan Bupati Lahat kepada DPRD Kabupaten Lahat melalui surat
nomor: 135/805/I2003 dan kepada Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) melalui
surat bernomor :135/806/I/2003.
Pada
13 Mei 2003, pemerintahan Kabupaten Lahat mengeluarkan surat Nomor
470/KEP/I/2004 tentang pembentukan tim penyusun rencana pemekaran Empat Lawang,
pada 25 April s/d 8 Mei 2004 DPRD Kabupaten Lahat melaksanakan sidang paripurna
III. Hasil paripuna tersebut, DPRD Kabupaten Lahat menyetujui pemekaran
Kabupaten Lahat melalui keputusan DPRD Kabupaten Lahat Nomor 07 tahun 2004
tanggal 8 Mei 2004. Selanjutnya pada 4 Juni 2004 persetujuan DPRD Kabupaten
Lahat disampaikan kepada Gubernur Sumsel. Pada 28 Juni 2004 persetujuan Guberur
Sumsel tentang pembentukan Kabupaten Empat Lawang keluar, melalui surat
nomor:135/2527/II/2004, yang kemudian disampaikan kepada DPRD Provinsi Sumsel.
Pada 31 Agustus 2004, DPRD Provinsi
Sumsel memberikan dukungan terhadap rencana pemekaran Kabupaten Lahat di
Provinsi Sumsel dengan keputusan DPRD Sumsel nomor 9 tahun 2004. Setelah
melalui proses perjuangan yang cukup panjanng dari seluruh elemen masyarakat
Lintang Empat Lawang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan DPR RI di
Jakarta (melalui komisi III).
Didalam daerah
kabupaten Empat Lawang dalam hal perkawinan atau memilih calon pasangan hidup
sangat berpegang teguh pada aturan dan kebiasaan masyarakat, muda mudi daerah
Empat Lawang bila sedang dilanda cinta mereka berpacaran secara
sembunyi-sembunyi karena takut diketahui pihak keluarga keluarga sigadis,
khususnya ayah, saudara laki-laki sigadis, bila sibujang ingin bertemu (ngece’)
dengan seorang gadis maka dia harus menyuruh
seseorang utusan untuk menemui gadis tersebut dan mengundang untuk bertemu
disalah sebuah rumah tetangga atau keluarga, jika sigadis merasa setuju, lalu
siutusan itu kembali menyampaikan berita itu kepada sibujang tadi. Didalam
menyampaikan keinginan untuk berumah tangga, baik bujang maupun gadis boleh
langsung menyampaikan kepada orang tua mereka secara langsung atau melalui
pihak ketiga (kakek, nenek, uwak, atau kakak) bila merasa singku (malu).
Setelah tiba saatnya hari yang dijanjikan untuk memadurasan, pihak keluarga
sang bujang datang kerumah sigadis dan disertai oleh seorang diplomatis
(pemegang rasan). Demikian juga sebaliknya pihak gadis juga menyiapkan
seseorang pemegang rasan, dalam hal ini tentunya orang tersebut pandai bicara
dan mengenai pada sasaran yang di inginkan oleh pemberi amanah. Untuk
selanjutnya mereka akan melakukan proses pernikahan yang sesuai dengan adat
yang ada dikabupaten Empat Lawang.
Selain dari adat pernikahan masih banyak lagi bentuk budaya-budaya
yang ada dikabupaten Empat Lawang, tempat-tempat wisata didaerah ini juga tidak
kalah dengan wisata yang ada di Pagaralam. Berikut adalah bentuk Budaya-budaya
yang terdapat didaerah kabupaten Empat Lawang yaitu:
1.
Ngece’ yaitu budaya perkenalan dan percintaan bujang
gadis Empat Lawang
2.
Ngersayo yaitu budaya bekerjasama dalam bidang
pertanian
3.
Budaya pernikahan kabupaten Empat Lawang
4.
Budaya pantauan pada saat Hajatan (syukuran)
5.
Budaya sedekah dusun
Berikut
tempat-tempat wisata yang ada dikabupaten Empat Lawang yaitu:
Objek
Wisata
|
Lokasi
|
Air
Terjun 7 (Tujuh) Panggung
|
Desa
Tanjung Alam, Kecamatan Lintang Kanan
|
Sumber
Air Panas
|
Desa
Penantian kecamatan Pasemah Air Keruh
|
Pantai
Air Bayau / air Belerang
|
Kecamatan
Muara Pinang & Lintang Kanan
|
Tebat Sakedi
|
Desa
Suku Dana, Kecamatan Muara Pinang
|
Air
Terjun Jaya Loka
|
Kelurahan
Jaya Loka, kecamatan Tebing Tinggi
|
Pantai
Musi
|
Desa
Terusan Lama, Kecamatan Tebing Tinggi
|
Air
Terjun Sange 2 (Dua) Tingkat
|
Desa
Terusan Baru, Kecamatan Tebing Tinggi
|
Gua
Batu
|
Desa
Manggilan, kecamatan Pendopo
|
Ayek
muare
|
Desa
Rantau Tenang, Kecamatan Tebing Tinggi
|
Air
Limus
|
Desa
Ula Dabuk, Kecamatan Talang Padang
|
Kemudian selain
adat perkawinan dan tempat obyek wisata, ada juga jenis tari dan lagu-lagu yang
ada di kabupaten Empat Lawang berikut jenis-jenis tari yang terdapat di Empat
Lawang yaitu: tari sambuk, tari Gerigik, tari nunggal padi, tari ketubean, tari
Mutiqh kawo. Selain itu lagu-lagu daerah Empat Lawang yaitu: lagu Empat lawang
alap, lagu Epat Lawang iluk, lagu ketubean, lagu gadis kembang dusun, lagu
ngersayo, lagu tuoi rasan kami, gitar tunggal (Rejung), guritan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya,maka rumusan
masalah dalam makalah ini
adalah:
1.
Bagaimana asal mula nama Empat Lawang?
2.
Bagaimana adat perkawinan dan adat istiadat yang ada di
kabupaten Empat Lawang?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui asal mula nama Empat Lawang
2. Untuk mengetahui adat perkawinan dan adat istiadat yang ada di
kabupaten Empat Lawang
D.
Manfaat
penelitian
Secara teoritis hasil penelitian ini akan berguna sebagai konstribusi pengembangan
wawasan pemikiran khasanah keilmuan, kebudayaan serta pengetahuan tentang adat
kebudayaan dan perkawinan daerah Lintang Empat Lawang. Secara praktis
penelitian ini memberikan informasi kebudayaan dan adat perkawinan daerah
Lintang Empat Lawang, khususnya masyarakat setempat dan pada umumnya masyarakat
pendukung budaya lain sebagai bahan perbandingan.
Adapun manfaat
dari hasil penelitian ini adalah:
1.
Hasil
penelitian ini diharapkan agar dapat berguna dan memberikan konstribusi
mengenai asal mula kabupaten Empat Lawang
2.
Penelitian
ini diharapkan agar dapat berguna dan memberikan informasi mengenai adat
pernikahan dan adat istiadat yang ada di kabupaten Empat Lawang
E.
Tinjauan
pustaka
Dalam buku perubahan nilai upacara pada masyarakat dan
pendukungnya didaerah sumatera selatan
yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa
sebagian besar masyarakat Sumatera Selatan, khususnya masyarakat Empat Lawang
menganut agama Islam. Namun demikian masih terdapat kepercayaan yang apabila
menurut ajaran agama tidak seharusnya diyakini dan dipercaya.[4]
Dalam buku agama-agama yang berkembang didunia dan pemeluknya karangan
K.Sukardji, menjelaskan tentang bagaimana kegiatan upacara-upacara keagamaan
bagi orang primitive, dimana jenis upacara keagamaan seperti sesajen, berkorban
membaca mantra-mantra, tari-tarian dan lain sebagainya.[5]
dalam buku Upacara perkawinan adat jawa karangan Thomas Wiyasa
Bratawidjaja, juga menjelaskan bahwa upacara perkawinan, dimana mereka
melakukan hal ini karena dalam kehidupan mereka ada tiga peristiwa yang
menurutnya dianggap penting dan tidak boleh diabaikan, seperti dalam upacara
perkawinan, peristiwa kelahiran dan kematian, tujuannya adalah untuk
menghormati roh yang ada disekitar mereka.[6]
F.
Kerangka
teori
Seseorang melakukan sebuah penelitian biasanya sangat membutuhkan
sebuah teori, karena teori tersebut sangat menentukan berhasil atau tidaknya
dalam suatu penelitian yang sedang kita teliti. Makan untuk membantu dan
memecahkan persoalan masalah yang kita ingin pecahkan maka diperlukan
teori-teori yang relevan, terhadap suatu permasalahan yang akan kita teliti.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek, yang
menjadi perhatian khusus oleh ahli antropologi yaitu: tempat upacara keagamaan yang dilakukan, waktu upacara yang dilakukan, tanda-tanda
atau alat-alat upacara serta orang-orang yang terlibat melakukan upacara
tersebut.[7]
Menurut pendapat Frezer
bahwa ketika Islam belum ada dalam kebudayaan manusia dimana mereka
hanya menggunakan ilmu ghaib untuk memecahkan masalah-masalah dalam hidup yang
berada diluar jangkauan akal pikiran dan pengetahuan manusia. Ketika mereka
menyadari bahwa ilmu ghaib tidak bermanfaat bagi mereka maka mulailah timbul
kepercayaan bahwa makhluk-makhluk halus tersebut lebih berkuasa, dengan manusia
yang mulai mencari hubungan dengan makhluk ghaib sehingga timbul religi.[8]
G.
Metode
penelitian
Metode penilitian adalah
suatu cara untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan penelitan guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[9]
Pengertian lain bahwa Metode Penelitian adalah suatu cara untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan penelitian guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, dalam penelitian tersebut, penulis menggunakan metode ilmiah, yaitu
metode deduktif dan metode induktif. Deduktif adalah pengambilan kesimpulan
mengenai kebenaran khusus dari kebenaran umum yang telah diterima, sedangkan
Induktif merupakan cara menyimpulkan kebenaran umum dari kebenaran-kebenaran
khusus.
1.
Metode
pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yaitu:
pendekatan Antropologi dan pendekatan Sosiologi, Antropologi adalah ilmu yang
berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka
ragam bentuk, kepribadian, masyarakat serta kebudayaan.[10]
Sedangkana Sosiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang perkembangan
organisasi-organisasi, asas-asas dan masalah-masalah kehidupan manusia
sebagai makhluk kolektif.[11]
2.
Jenis
penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field Research), yakni
mengadakan pengamatan langsung mengenai kejadian-kejadian yang berkenaan dengan
judul penelitian.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan model penelitian
studi kasus. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya:
prilaku, persepsi motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistic dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah.[12]
Studi kasus adalah salahy satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial, secara umum
studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu
penelitian berkenaan dengan “How dan Why” dan dimana fokus penelitiannya
terletak pada fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata.[13]
3.
Jenis
dan sumber data
a.
Jenis
data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu data
yang berkenaan dengan kebudayaan dan adat perkawinan masyarakat daerah Lintang
Empat Lawang.
b.
Sumber
data
Sumber data dalam penelitian ini adalah menggunakan data Primer dan
Sekunder. Data primer adalah data pokok, dimana data yang diperoleh langsung
dari pihak-pihak yang berhubungan , dengan kepentingan pengumpulan data yang
penulis perlukan seperti pemuka adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
pengikut desa yang pernah melaksanakan adat perkawinan. Sedangkan data sekunder
adalah data penunjang yang diperoleh
dari buku-buku yang berkenaan dengan judul penelitian, seperti buku-buku,
majalah, dokumentasi maupun arsip yang ada kaitannya dengan pokok bahasan.
4.
Tekhnik
Pengumpulan Data
Adapun tekhnik pengumpulan data yang dibutuhkan:
a.
Observasi
Yaiyu penulis melakukan penelitian dengan terjun langsung ketempat
kejadian atau lapangan untuk melihat lebih dekat tentang pelaksanaan yang
diteliti.
Observasi adalah metode atau cara untuk mengumpulkan data dan
informasi dengan jalan pengamatan/ penelitian yang dilakukan secara sistematis,
logis dan rasional (masuk akal) mengenai fenomena-fenomena yang diselidiki.[14]
b.
Interview
Yaitu mewawancarai langsung kepada tokoh masyarakat, pemuka adat,
tokoh agama, guna untuk mendapatkan data
tentang kebudayaan dan adat pernikahan daerah Lintang Empat Lawang.Interview
adalah mengadakan wawancara dipergunakan untuk menyempurnakan kebenaran
pengamatan penulis kepada pemuka adat, dan tokoh masyarakat untuk dapat
memberikan informasi secara jelas dan benar untuk mendapatkan data tentang
proses pelaksanaan dan aspek-aspeknya.
c.
Dokumentasi
Yaitu proses suatu kegiatan yang sedang berlangsung guna untuk
memperoleh tentang kondisi sarana dan prasarana serta monografi desa.
Dokumentasi digunakan untuk kebutuhan tahap eksplorasi dan juga untuk
mengungkapkan data yang bersifat administrasi dan data yang bersifat
dokumentasi.
5.
Tekhnik
Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif kualitatif yaitu mengemukakan dengan menguraikan seluruh
permasalahan yang ada dengan sejelas-jelasnya. Kemudian uraian tersebut ditarik
kesimpulan secara deduktif yaitu menyimpulkan dari pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat khusus, sehingga penyajian hasil penelitian ini dapat dengan mudah dipahami.
Dalam menganalisis data ini menggunakan data kualitatif deskriptif yaitu
pengumpulan data yang diperoleh dari observasi, dokumen, interview kepada key
information, selanjutnya data-data tersebut akan diverifikasi serta dihubungkan
dan dianalisa menurut isinya sehingga mendapatkan kesimpulan yang jelas dan
mudah dipahami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal
mula nama Empat Lawang
Arti kata Lawang yang sesungguhnya adalah Lawangan atau pamitan,
yaitu orang yang terkemuka atau sesepuh dan dapat pula diartikan pahlawan.pada
zaman nenek moyang dulu, terdapat empat pahlawan yang merangkap jadi iman dan
juga menjadi pimpinan di daerah Empat Lawang dengan kawasan wilayah I.
Marga Tedajen, sekarang ini disebut Marga Lubuk Puding dengan
Zariatnya sekarang ini adalah pangeran Halek, Demang Achmad (dari komering)
istrinya adik pangeran (Mariatul) anaknya bapak Hasan Belado, bapak Drs. Halek.
dII.II. Marga Kejaten Mandi Ulu Musi, sekarang disebut Marga Tanjung Raya
dengan zuriatnya: pangeran H.Abubakar anaknya Pasirah A.Zaini (alm).
dII.III. Marga Muara Pinang, dengan
zuriatnya Pasirah Sani.IV. Marga Muara Danau, dengan zuriatnya pangeran Majid
anaknya Pasirah A.K. Matjik dan Demang Umar disamping ke empat marga tersebut
diatas ada marga tersendiri dulu disebut
Miji kalau sekarang disebut
dengan istimewa yaitu Marga Singkap dalam Musi Ulu sekarang disebut
Marga Karangdapo daerahnya meliputi Talang Padang yang dipimpin oleh puyang
Kagade yang nama aslinya Nung Kodo Lindung.
Daerah Marga Tedajen / Marga Lubuk Puding dari Wates sampai
Karangdapo, daerah Marga Kejatan Mandi Musi Ulu / Marga Tanjung Raya adalah
dari dusun Kungkilan terus kearah
Pagaralam sampai ke Marga Gunung Meraksa, yang kearah Tebing Tinggi sepanjang
sungai Musi sampai ke Saling. Dari dusun Muara Pinang sampai dusun sawah
disebut Lintang Kiri dikenal sebagai Marga Semidang, puyangnya yaitu Serunting
Sakti. Sedangkan daerah Muara Danau disebut Lintang Kanan. Sesudah zaman
Belanda daerah ini menjadi 13 Marga yaitu: Marga Saling, Marga Kupang, Marga
Batu Pance, Marga Talang Padang, Marga Tanjung Raya, Marga Karangdapo, Marga
Lubuk Puding, Marga Gunung Meraksa, Marga Tanjung Raman, Marga Babatan, Marga
Muara Danau, Marga Muara Pinang dan Marga Seleman.
Pada zaman sunan Palembang berperang dengan tentara Tuban di Jawa,
pada waktu itu sunan mengirim utusan ke Empat Lawang memohon bantuan untuk
berperang dengan kerajaan Tuban, maka empat pahlawan ditambah puyang Kagede
bersedia membantu sunan, dengan membawa empat puluh pasukan lalu mereka berkumpul
disebuah batu besar untuk berunding/ berencana. Batu besar tempat mereka
berunding akhirnya menjadi sebuah daerah dan menjadi Marga Singkap pelabuhan
dan terakhir menjadi Marga Batu Pance. Dari hasil perundingan mereka diatas
batu besar tadi, mereka langsung berangkat ke Tuban beserta pasukan
masing-masing dan langsung berperang dengan kerajaan Tuban. Kerajaan Tuban
kalah, tetapi puyang / pahlawan dari Muara Pinang terbunuh, mengakui
kekalahannya kerajaan Tuban menyerahkan Gong Pusaka Gading, Kelinteng Aur
Lanting dan anak raja satu perempuan dan satu laki-laki sebagai ganti puyang
yang terbunuh waktu berperang. Anak raja laki-laki tadi di dudukan di Muara
Pinang, sedangkan yang perempuannya kawin dengan salah satu anggota pasukan dan
harus di Linggihkan (dudukan) yang mana sekarang menjadi Dusun Lingge.
Sedangkan Kelintang Aur Lanting sampai sekarang ini masih ada di Karangdapo dan
Gong Pusaka Gading sampai sekarang ini tidak tahu dimana keberadaannya
Setelah menang berperang, para pahlawan ini kembali ke Palembang
melaporkan kepada sunan bahwa mereka sudah menaklukan kerajaan Tuban, semua
pahlawan ini oleh sunan Palembang ditempatkan khusus dirumah Rakit diatas
sungai Musi, kepulangan pahlawan ini menimbulkan banyak yang iri atas
keberhasilan mereka menaklukan kerajaan Tuban, akhirnya mereka memfitnah para
pahlawan ini dengan mengatakan bahwa, para pahlawan ini akan menaklukan sunan
Palembang, “kerajaan Tuban saja bisa ditaklukan, apalagi sunan Palembang”.
Akhirnya sunan Palembang termakan dengan fitnah ini yang akhirnya sunan
Palembang berencana untuk memusnahkan para pahlawan ini, dengan dalih menyambut
para pahlawan ini sauna Palembang mengadakan jamuan makan malam di Istana sunan
dengan mengundang para pahlawan ini. Tetapi pada waktu itu puyang kagede telah
mencium niat tidak baik sunan ini, bahwa makanan ini hanya jebakan saja, maka
pada malam itu puyang kagede tidak hadir dengan alas an sakait, apa yang telah
diduga oleh puyang Kagede ternyata benar, sebab semua yang hadir dapat ditawan
oleh sunan dalam keadaan mabuk, melihat hal ini puyang Kagede tidak tinggal
diam, maka mengamuklah puyang Kagede dengan menyerang istana sunan, yang
akhirnya dapat dibebaskan puyang-puyang yang lain, dengan kesaktian yang
dimiliki oleh puyang Kagede dan puyang yang lain akhirnya menjadi peperangan
yang besar, sunan Palembang mengalami kekalahan dan juga terbunuhnya anak sunan
Palembang. Akhirnya sunan Palembang mengadakan damai dengan para Empat Lawang
ini, dimana diambil kebijakan bahwa nyawa harus diganti nyawa, karena putra
mahkota sunan Palembang meninggal, sebagai gantinya puyang Kagede harus tinggal
di Istana. Berselang beberapa tahun kemudian terjadi keributan diantara
puyang-puyang lain di Empat Lawang ini mungkin istilah lintang berebut KUNDU.
Maksudnya berebut siapa yang tua yang patut jadi pemimpin, akhirnya beberapa
puyang mengambil inisiatif untuk mengadakan semedi, siapa yang patut menjadi
pemimpin diantara mereka, beberapa hari kemudian didapatlah petunjuk, bahwa
“kenapa puyang yang bertuah (punya kelebihan) ditinggal di Palembang”. Maka
dikirimlah utusan ke susnan Palembang untuk menemui puyang kagede. Maka
diadakanlah perundingan dengan sunan Palembang. Puyang kagede dan puyang yang
lainnya yang akhirnya disepakati puyang Kagede diangkat sebagai sunan sebagai
perwakilannya didaerah uluan Palembang yang berkedudukan di Tebing Tinggi
dengan istilah pepatih/perwakilan sunan pada zaman Belanda daerah Tebing Tinggi
dipegang oleh Assisten Residen, setelah berkembang dan berjalan cukup lama.
Kedudukan Assisten ini akhirnya dipindahkan ke Lahat, mungkin ada
pertimbangan-pertimbangan lainnya oleh pemerintahan Belanda dahulu, sedangkan
pertimbangan sunan dulu adalah selain puyang Kagede mewakili sunan diseluruh
daerah uluan juga pertimbangan dapat berkumpul kembali kedaerah puyang-puyang
di Empat Lawang.
B.
Adat
perkawinan daerah Lintang Empat Lawang
Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki yang bukan mahrom.[15]
Dalam arti lain perkawinan adalah sunatullah, perkawinan dilakukan oleh
manusia, hewan bahkan tumbuh-tumbuhan.[16]
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria
pasangan pengatin, tetapi juga kedua orang tua kedua belah pihak,
saudara-saudara, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.[17]
Lintang Empat Lawang yang letaknya di ujung barat kabupaten Lahat,
memiliki corak dan kebiasaan tersendiri dalam hal proses perkawinan atau hal
memilih calon pasangan hidup, konon pada masa lalu sangat tertib dan sangat
berpegang teguh pada aturan dan kebiasaan dalam bermasyarakat, bila ada yang
melanggar aturan yang tidak tertulis itu bisa saja berakibat fatal sebab dapat
mengundang perkelahian bahkan mungkin sampai ke pembunuhan, mengerikan memang
kedengarannya, tetapi itulah ciri khas daerah Lintang Empat Lawang. Masyarakat
Lintang Empat Lawang umumnya memiliki sifat yang halus dan perasa, walaupun
kasar tindakannya. Jarang sekali orang Lintang Empat Lawang kalau ingin
menyampaikan keinginannya dengan cara tembak langsung, paling tidak basa basi
dulu, disamping cukup memiliki toleransi dan suka membantu, sikap ini tercermin
bila mereka mengolah tanah pertanian misalnya, Ngersayo Nebang, Ngersayo
Nungal, Ngersayo Ngetam dan lain-lain. Dengan sikap yang demikian ini
sebetulnya dapat memupuk rasa persaudaraan yang erat, saling mengenal satu sama
lain. Disaat Ngersayo-ngersayo ini juga memberikan kesempataan muda-mudi
berkomunikasi. Bahkan dapat menciptakan hubungan percintaan dan berakhir pada
perkawinan. Muda-mudi daerah Lintang Empat Lawang bila sedang dilanda cinta
mereka melakukan hubungan sembunyi-sembunyi karena takut diketahui pihak
keluarga si gadis, khususnya ayah atau saudara laki-laki sigadis tersebut,
kalau saja pihak keluarga sigadis tahu atau sengaja bersendagurau dihadapan
mereka, maka itu dianggap tidak menghargai (Ngampuk) hal ini yang sering “Kena
Puntung” bila sibujang ingin bertemu (Ngecek) dengan seorang gadis, maka dia
harus menyuruh seseorang utusan untuk menemui gadis tersebut dan mengundang
untuk bertemu disalah sebuah rumah tetangga atau keluarga, jika sigadis merasa
setuju, lalu siutusan itu kembali menyampaikan berita itu kepada sibujang tadi.
Didalam menyampaikan keinginan untuk berumah tangga, baik bujang maupun gadis
boleh langsung menyampaikan kepada orang tua mereka secara langsung atau
melalui pihak ketiga (kakek, nenek, uwak, atau kakak) bila merasa singku
(malu). Setelah tiba saatnya hari yang dijanjikan untuk memadurasan, pihak
keluarga sang bujang datang kerumah sigadis dan disertai oleh seorang
diplomatis (pemegang rasan). Demikian juga sebaliknya pihak gadis juga
menyiapkan seseorang pemegang rasan, dalam hal ini tentunya orang tersebut
pandai bicara dan mengenai pada sasaran yang di inginkan oleh pemberi amanah.
Dirumah sigadis sebagai ajang pertemuan untuk memadurasan, para sanak keluarga
telah berkumpul untuk mendengarkan dan member dorongan agar rasan tersebut
berjalan dengan baik dan lancer. Dua orang utusan pemegang rasan mulai
melakukan pembicaraan dengan taktis dan penuh lika-liku, yang akhirnya
menemukan kata sepakat yaitu menetapkan tanggal pernikahannya, permintaan mas
kawin dan bantuan materi (bentalan yang mencakup hewan potong, beras, uang dan
sebagainya). Kesemuanya itu diperuntukan sebagai biaya pelaksanaan resepsi
pernikahan, kecuali mas kawi yang berupa emas adalah merupakan hak penuh untuk
sigadis, suasana pertemuan tidak menjadi tegang lagi dengan adanya kata sepakat
telah didapat, janjipun telah diikat dan sampai pada giliran kapan bujang akan
diantat kini sibujang telah menjadi calon penganten dan sigadis menjadi calon
bunting (pengantin perempuan), masing-masing diantar kerumah calon mertua untuk
mengisi masa pertunangan selama jangka waktu yang telah ditentukan dalam proses
calon bunting(pengantin perempuan) diantar kerumah calon penganten (pengantin
laki-laki) dan sebaliknya yang disebut dengan istilah “Baantatan”, biasanya diawali calon bunting (pengantin perempuan) dahulu datang kerumah calon penganten
(pengantin laki-laki), barulah secara bersamaan
calon penganten dan calon bunting datang kerumah calon bunting, bagi
orang tua dalam menyambut calon menantu, biasanya kalau zaman dahulu diperahkan
ayek sighehg (air sirih) dan kembang-kembangan dan disertai dengan doa-doa
pelaksanaan “Baantatan” ini disertai dengan pesta kecil yang disebut “Nyerawo”
dilakukan pada hari penganten (pengantin laki-laki) mau turun dari rumah
sebagai ungkapan rasa kegembiraan, maka muda-mudi mengadakan acara Bajidur,
tari-tarian (dibawah tahun 60-an) dan ramah tamah (kalau sekarang) beberapa
hari setelah selesai “Baantatan”, calon bunting dan calon penganten dikenalkan
dengan sanak keluarganya yang disebut dengan istilah “Nundokan bunting atau
penganten”, setelah itu mereka akan meniti masa pertunangan, selama masa
pertunangan mereka diharuskan membantu segala macam pekerjaan mertua, masa
pertunangan ini tergantung dari hasil perasaan dulu, bisa satu tahun atau
lebih, masa pertunangan yang panjang ini dimaksudkan untuk penilaian calon
bunting/penganten baik sikap, tingkah laku, kejujuran maupun keimanannya.
Disamping itu juga masalah keterampilan, kemampuan dan kesungguhan untuk
berumah tangga, penilaian semacam ini nampaknya perlu dilakukan dikarenakan
masyarakat daerah Lintang Empat Lawang umumnya tidak mengalami masa berpacaran/
belinjangan yang cukup lama, untuk menilai isi hati calon yang dipilihnya
tersebut. Hal yang wajar bila muda-mudi daerah Lintang Empat Lawang baru satu
atau dua kali bertemu/ ngecek, langsung memadurasan. Sebagai konsekuensinya
bila penilaian antara calon bunting/penganten
tidak cocok, maka perkawinan mereka akan dibatalkan. Betapa sakit hati kalau
mengalami hal semacam ini bukankah tradisi calon tersebut sudah membantu segala
macam pekerjaan calon mertua (nebas, nebang, nyawat, ngetam, pokok o nyadi
kebau putih), disamping itu nama baikpun sudah tercemar, sebab dimata
masyarakat orang tersebut tidak ada kecakapan (kedaekan), sehingga menyulitkan
untuk meminang gadis lain. Oleh karena itu calon bunting dan calon penganten
harus berhati-hati jangan sampai rasan batal (rasan orong). Jika perlu kalau
tadinya kurang rajin bekerja dan beribadah maka pada masa pertunangan harus
ditingkatkan, agar mendapat penilaian (penindaian) dari calon mertua. Bila masa
pertunangan ini berjalan lancer dan cocok menurut penindaian (penilaian) calon
mertua, maka proses selanjutnya adalah acara pesta pernikahan.
Menjelang dua minggu lagi pesta pernikahan, orang tua calon bunting
(pengantin perempuan) mengadakan pertemuan secara singkat dengan orang tua
calon penganten (pengantin laki-laki) dan menanyakan persiapan bentalan yang dijanjikan,
hari apa bisa diantar. Dari hasil pertemuan akan didapat jawaban kepastian
kapan bentalan akan dikirim, maka sebelum bentalan diantar kerumah calon
bunting (pengantin perempuan) akan didirikan Lembongan. Lembongan ini didirikan gunanya untuk perluasan tempat memasak, sebab
kapasitas dapur tidak memungkinkan, karena terlalu sempit menampung orang
banyak, dari mulai mendirikan Lembongan hingga pesta selesai diadakan pembagian
tugas yaitu: mendirikan Lembongan dikerjakan oleh orang tua laki-laki, sedangkan
ibu-ibu mengambil daun-daunan dan mengumpulkan sayur-sayuran misalnya mengambil
nangka, terong, kates dll. Yang diambil dari kebun sendiri. Orang tua calon
bunting/penganten (pengantin perempuan/laki-laki) mengundang sanak keluarga
(Bejeghum) agar meramaikan pesta pernikahannya, sedangkan muda-mudi yang gadis
membuat kue-kue dan yang bujang membuat dekorasi (hiasan). Bujang gadis yang
bekerja disini disebut Gertang (matangaguk). Beberapa hari kemudian barulah
bentalan datang dari calon pengatin laki-laki pada hari mengantar bentalan
pengantin laki-laki tersebut dating kerumah pengantin perempuan bersama
bentalan dan ditempatkan dirumah khusus buat calon pengantin laki-laki yang
disebut rumah mendan. Dirumah ini pengantin laki-laki hanya ditemani oleh inang
yang dipilihnya sendiri, untuk melayani keperluannya dalam menghadapi hari
pesta pernikahannya, sampai selesai setibanya bentalan dirumah calon pengantin
perempuan (rumah pangkal).
Kesibukan semakin bertambah, para warga sekitar berdatangan dan membawa beras, ayam dan lain-lain sebagai
sumbangan (petolong), disamping itu mereka membantu segala macam pekerjaan yang
ada. Tiga hari lagi menjelang hari pesta pernikahan, tuan rumah mengumpulkan
sanak keluarga dan warga sekitarnya untuk menyerahkan tugas secara resmi yang
disebut “Nyerahkan Aguk” (kalau sekarang sama dengan membentuk panitia). Orang
yang diberi tugas ini harus bertanggung jawab penuntasan tugas yang diberikan
kepadanya, baik itu soal masak memasak ataupun urusan lampu dan sebagainya, biasanya
para pengemban tugas mulai melakukan kegiatannya pada hari malemang (satu hari
sebelum hari pernikahan), hingga esok harinya hari pesta pernikahan (hari
nyemelek atau nyemok=nyelemok). Kini hari malemang telah tiba, hari berganti
senja, senjapun berganti malam, para sanak keluarga, alim ulama dan handai
tolan telah memenuhi ruangan untuk menyaksikan akad nikah. Calon pengantin
laki-laki mengenakan pakaian adat ala pakaian haji mulai diturunkan dari rumah
mendan dan akan dibawa kerumah pangkal, selangkah demi selangkah pengantin
laki-laki diturunkan para penjemput dan diiringi dengan arak-arakan, hati sang
pengantin berdebar-debar, getaran jantungnya kian berdetup semakin kencang,
karena membayangkan sesaat lagi dia akan resmi menjadi pengantin. Setibanya
pengantin laki-laki dirumah pengantin perempuan, dia sambut bagai pangeran yang
akan dinobatkan menjadi raja, kalam Ilahiah mulai dikumandangkan, segala
petunjuk dan persyaratan dari ajaran agama telah dibacakan. Kini giliran
pengantin laki-laki mengucapkan akad nikah yang disaksikan khalayak ramai,
dalam mengucapkan akad nikah harus betul-betul memenuhi ketentuan agama Islam.
Acara akad nikah telah selesai pengantin dipersilahkan duduk berdampingan
(bersanding). Diatas pelaminan, disuasana yang menggembirakan ini berbagai bentuk hiburan akan diturunkan
untuk menghangatkan suasana pesta pernikahan ini. Hiburan dalam pesta
pernikahan ini telah banyak mengalami perubahan, dari kurun waktu sampai dengan
kurun waktu sekarang, sebelum tahun 20-an. Hiburan atau acara kesenian yang ada
“Ngala sambai atau Badindin”, yaitu muda-mudi mengungkapkan isi hati lewat
seni, apakah itu berupa keinginan hidup atau berbau sejarah perjuangan. Hiburan
semacam ini dianggap paling tua, kemudian tari-tarian sampai mereka mengenal
alat musik sederhana yang berupa jidur,
ketipung, kulintang dan gong. Setelah tahun 20-an sampai 50-an acara hiburan
lebih ditonjolkan yang bersifat keagamaan misalnya kosidah, diqir, seni baca
berzanji dan seni baca al-qur’an, sedang alat musik berupa terbangan, pada masa
ini bukan berarti seni tradisional sebelumnya sudah hilang sama sekali,
contohnya bajidur masih tetap dipakai namun lebih dominan dalam acara pesta
pernikahan adalah kosidahan. Pada mulanya kosidah yang mereka kenal hanya 24
macam diantaranya yaitu: Roqbi, Hijaz, Yaman Hijaz, Sika dan seterunya.
Kemudian berkembang menjadi ratusan macam, kasidah yang pada umumnya diambil
dari bacaan berzanji dan digelarkan pada malam pesta pernikahan, dan
dipertandingkan dengan mengadu suara mas masing-masing. Disamping
terbangan dikenal juga alat musik gitar,
musik gitar ini adalah pengembangan dari Jidur, dimana lirik dan makna lagunya
sama, serta vokalnya dibawakan sendiri hanya saja nama lagu yang dibawakan disebut
Rejung. Sedangkan irama Rejung dapat berkembang bermacam-macam, melalui Rejung
dapat pula mengungkapkan isi hati, menceritakan suka duka dalam perjalanan
hidup, merayu dan membuat hati sang gadis tersentuh serta menghibur hati dikala
sedih. Namun gitar ini tidak digunakan pada acara pesta pernikahan, sedang
terbangan hanya digunakan dalam pesta pernikahan misalnya “ngarak bunting dan
penganten, atau mendampingi lagu diqir/ratib saman” pada malam pesta
pernikahan. Di tahun 50-an mulai dikenal orkes, orang yang pertama mengenalkan musik orkes didaerah Lintang Empat Lawang
bernama Bodin, asal dusun muara Karang, sampai akhirnya dia membentuk suatu
group orkes dengan nama Jaya Jagad, tokoh seniman ini dan dan bersama orkesnya
menjelajahi hampir setiap pelosok daerah Lintang Empat Lawang untuk menghibur
pada acara pesta pernikahan. Musik orkes ini diadakan mulai dari malam akad
pernikahan sampai hari pesta pernikahan (hari nyelemok/nyemok) dan ditempatkan
pada tempat khusus yang disebut Balai. Sedangkan kegiatan yang dilakukan
dirumah pangkal pada malam hari akad nikah dan pesta akad nikah, menjadi tempat
untuk menjamu para undangan yang dating sebelum sampai waktu acara pengantin
perempuan dan laki-laki bertamat Qur’an (khatam Qur’an), disamping acara
bertamat Qur’an juga dibacakan berzanji, Marhabah, doa-doa dan dilanjutkan
dengan jamuan makan siang (nyelemok/nyemok).
Bila acara nyelemok/nyemok telah selesai, para tamupun berpamitan
pulang, sedangkan pengantin perempuan dan laki-laki baru ditunggalkan (tidur
bersama) setelah hari nyerawo, yaitu dua hari setelah pernikahan selesai, pada
hari tersebut Lembongan/sempeng akan
dibongkar dan semua gertang dan inang diantar pulang secara resmi,
dengan diberi hidangan Setalam sebagai ucapan terimakasih. Baru pada
hari ketiga atau keempat pengantin perempuan
dan laki-laki tidur bersama, dalam menunggalkan pengantin ini ditunjuk seorang
perempuan yang sudah nenek-nenek untuk mengantar pengatin laki-laki kekamar
pengantin perempuan, sang nenek memberikan petunjuk dan membisikan sesuatu yang
rahasia, lalu sinenek langsung keluar dari kamar, berikutnya kita tidak tahu
apa yang terjadi didalam kamar. Sebagai penutup adat pernikahan didaerah
Lintang Empat Lawang.
Disini kami jelaskan dalam menentukan pasangan hidup ada beberapa
cara yang dikenal didaerah Lintang Empat Lawang adalah sebagai berikut:
1.
Rasan
samo galak dan dituokan
Yaitu muda-mudi suka sama suka dan orang tua kedua belah pihak
sama-sama setuju, prosesnya telah diuraikan diatas
2.
Maling
Tubu
Orang tua disalah satu pihak ada yang belum setuju kalau anaknya
cepat menikah atau karena alasan lain, sehingga setiap mau dituokan selalu
mengalami kegagalan. Maka sang muda-mudi sepakat untuk Maling Tubu, yaitu sang
bujang menemui gadisnya untuk diajak kerumahnya, dengan cara ini akan memaksa
orang tua untuk berasan, dalam Maling Tubu ini ada aturannya, antara lain sang
bujang harus menitipkan “keris” pada pemerintah kampong (kalau sekarang disebut
kades, zaman dahulu disebut Gindo), atau paling tidak keris tersebut diletakkan
dibawah bantal sang gadis (tentu menyuruh sang gadis itu sendiri melakukannya),
sebab Maling Tubu ini tidak boleh ketahuan oleh keluarga sang gadis, bila
sampai ketahuan berakibat batal hak, yang disebut “kecandak”. Keris yang
dititipkan dirumah Gindo atau yang diletakkan dikamar sang gadis tersebut
dimaksudkan sebagai jaminan untuk keselamatan sang gadis, bahwa yang membawa
adalah anak laki-laki dan berniat baik untuk menyunting gadis, gadis yang
dibawa harus ditemani oleh beberapa orang temannya, sang bujang pun demikian,
baru kemudian seorang yang ditunjuk sebagai utusan dari pihak bujang untuk
memberitahukan kepada keluarga gadis,
bahwa anaknya sekarang berada dirumah sianu, untuk selanjutnya diproses seperti
biasa.
3.
Rasan
Tambik anak dan rasan Kesah
Pada saat memdurasan harus tetap ditempat mereka menetap setelah berumah tangga nanti
“Rasan Tambik anak”, berarti setelah mereka menikah menetap dan mencari nafkah
dirumah bunting(pengantin perempuan). Sedangkan rasan Kesah berarti perempuan
ikut kerumah pengantin laki-laki dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Laki-laki
harus memberikan uang yang wajar dan
b.
Memberikan
keris kepada orang tua perempuan, keris ini dimaksudkan sebagai “Tebus
Semangat”.
4.
Kawin
Cindo
Yaitu pernikahan yang masih ada hubungan family, hal ini terjadi
biasanya karena keinginan orang tua, dan bisa jadi karena keduanya suka sama
suka.